WAKATOBI – Percuma kalau pergi ke Wakatobi, bila hanya untuk menikmati rumpunan soft coral dan kehidupan orang laut Bajo. Karena di dalam gugusan pulau-pulau indah di kawasan Sulawesi Tenggara ini, masih tersimpan banyak daya tarik lainnya. Seperti menelusuri keindahan seni tenun ikat dan melihat pengrajin anyaman tikar lipat.
Taman nasional laut yang terletak di tenggara Buton ini sepertinya memang sengaja terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menambah arus pemasukannya. Setelah sukses dengan keindahan bawah laut dan kehidupan orang Bajo, mereka mencoba menggagas kemungkinan wisata kerajinan yang bisa menjadi salah satu simbol kemudian hari di Wakatobi.
Mungkin nama sarung Wuray kurang terdengar akrab di telinga, apalagi anyam tikar dari Feruke. Tapi dengan keunikannya masing-masing, kedua jenis kerajinan tradisional ini mencoba menyeruak dan meminta perhatian agar diposisikan sebagai buah tangan yang layak untuk dibawa.
Seperti juga seni kerajinan daerah lain. Hingga sekarang mungkin masih saja terdengar kendala yang merapatinya. Namun, kalau mau melihat ke depan, sebenarnya jenis wisata seperti ini memiliki pasar tersendiri yang bisa terus digeluti.
Sarung Wuray
Sambil menanti kedatangan pick-up yang akan membawa kami ke masjid. La Mahode, pemandu kami, menawarkan mengunjungi beberapa pengrajin tenun di sana. Di Pulau Kaledupa yang teduh di serambi-serambi rumahnya, ditemui banyak perempuan yang melakukan kegiatan menenun. Salah satu rumah di utara desa kelihatan juga menyimpan satu perempuan yang kelihatan sibuk di teras rumahnya yang bertingkat dua.
”Sarung wuray ini biasanya hanya dipakai saat ada kegiatan khusus saja. Semacam perkawinan dan acara resmi keluarga di sini,” kata La Mahode. Kain dengan motif kebanyakan garis-garis ini juga terkenal karena daya tahannya. ”Kain yang saya pakai sekarang, merupakan warisan dari nenek saya,” kata La Mahode lagi menjelaskan secara implisit kekuatan sarung tersebut. Padahal, bila melihat bahan dasar yang berupa benang kapas biasa, sarung ini cukup menakjubkan karena mampu bertahan hingga 20 tahun lamanya.
Dengan harga Rp150 – 200 ribu kita bisa memiliki kain sarung tersebut. Namun, sayang hingga kini keberadaan sarung tersebut hanya untuk konsumsi orang Buton. Penjualan paling jauh hanya ke kota Bau-bau. Padahal kalau mau diseriuskan, bisa saja menjadi tambahan bagi perekonomian sekitar.
Tikar Lipat
Satu lagi kerajinan asli Kepulauan Wakatobi yang rasanya pantas untuk dibicarakan adalah seni anyaman tikar lipat. Dengan bahan dasar daun pandan yang dikeringkan, dan kemudian dianyam menjadi tikar. Banyak penduduk desa Feruke mencoba menjualnya ke turis yang biasa datang ke sana.
”Biasanya baru setelah dijemur selama tiga hari. Daun pandan siap untuk dianyam menjadi tikar liap,” ungkap seorang ibu. Harganya juga tidak terlalu mahal,berkisar antara 25 – 50 ribu saja, kita telah memiliki sebuah tikar lipat seukuran badan orang dewasa. Rasa sejuk yang keluar saat kita tidur di atasnya, menjadi daya tarik tersendiri di tengah teriknya udara lautan di sana.
Taman nasional laut yang terletak di tenggara Buton ini sepertinya memang sengaja terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menambah arus pemasukannya. Setelah sukses dengan keindahan bawah laut dan kehidupan orang Bajo, mereka mencoba menggagas kemungkinan wisata kerajinan yang bisa menjadi salah satu simbol kemudian hari di Wakatobi.
Mungkin nama sarung Wuray kurang terdengar akrab di telinga, apalagi anyam tikar dari Feruke. Tapi dengan keunikannya masing-masing, kedua jenis kerajinan tradisional ini mencoba menyeruak dan meminta perhatian agar diposisikan sebagai buah tangan yang layak untuk dibawa.
Seperti juga seni kerajinan daerah lain. Hingga sekarang mungkin masih saja terdengar kendala yang merapatinya. Namun, kalau mau melihat ke depan, sebenarnya jenis wisata seperti ini memiliki pasar tersendiri yang bisa terus digeluti.
Sarung Wuray
Sambil menanti kedatangan pick-up yang akan membawa kami ke masjid. La Mahode, pemandu kami, menawarkan mengunjungi beberapa pengrajin tenun di sana. Di Pulau Kaledupa yang teduh di serambi-serambi rumahnya, ditemui banyak perempuan yang melakukan kegiatan menenun. Salah satu rumah di utara desa kelihatan juga menyimpan satu perempuan yang kelihatan sibuk di teras rumahnya yang bertingkat dua.
”Sarung wuray ini biasanya hanya dipakai saat ada kegiatan khusus saja. Semacam perkawinan dan acara resmi keluarga di sini,” kata La Mahode. Kain dengan motif kebanyakan garis-garis ini juga terkenal karena daya tahannya. ”Kain yang saya pakai sekarang, merupakan warisan dari nenek saya,” kata La Mahode lagi menjelaskan secara implisit kekuatan sarung tersebut. Padahal, bila melihat bahan dasar yang berupa benang kapas biasa, sarung ini cukup menakjubkan karena mampu bertahan hingga 20 tahun lamanya.
Dengan harga Rp150 – 200 ribu kita bisa memiliki kain sarung tersebut. Namun, sayang hingga kini keberadaan sarung tersebut hanya untuk konsumsi orang Buton. Penjualan paling jauh hanya ke kota Bau-bau. Padahal kalau mau diseriuskan, bisa saja menjadi tambahan bagi perekonomian sekitar.
Tikar Lipat
Satu lagi kerajinan asli Kepulauan Wakatobi yang rasanya pantas untuk dibicarakan adalah seni anyaman tikar lipat. Dengan bahan dasar daun pandan yang dikeringkan, dan kemudian dianyam menjadi tikar. Banyak penduduk desa Feruke mencoba menjualnya ke turis yang biasa datang ke sana.
”Biasanya baru setelah dijemur selama tiga hari. Daun pandan siap untuk dianyam menjadi tikar liap,” ungkap seorang ibu. Harganya juga tidak terlalu mahal,berkisar antara 25 – 50 ribu saja, kita telah memiliki sebuah tikar lipat seukuran badan orang dewasa. Rasa sejuk yang keluar saat kita tidur di atasnya, menjadi daya tarik tersendiri di tengah teriknya udara lautan di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar